PENGALAMAN BERTEMU “SI KEBAL CORONA”

Rizky Adha Mahendra
2 min readAug 21, 2020

--

Beberapa minggu yang lalu saya dan beberapa kawan ditugaskan dalam beberapa proyek penelitian oleh dosen saya. Salah satu tugas saya dalam proyek penelitian tersebut adalah mewawancarai beberapa orang yang menjadi informan. Otomatis saya bersama kawan saya harus turun langsung menemui informan dan mewawancarai beliau secara tatap muka. Salah satu topik obrolan pengantar yang kami gunakan untuk menggali data dari informan adalah bertanya seputar dampak pandemi covid-19 di sekitarnya. Namun dengan lantang dan penuh percaya diri beliau menjawab “Corona nggak ada di sini mas, nggak berani dia ke sini. Udah saya jual corona, laku delapan belas juta”. Pernyataan gagah beliau dilantangkan ditengah data yang menunjukan jika Kecamatannya menjadi salah satu urutan teratas di Kapubaten Malang. Bagaimana pun pendapat adalah pendapat, mentertawakan di depan wajah beliau sangat tidak etis dilakukan. Terlebih pada saat itu saya sedang dalam masa proses pengambilan data. Bisa-bisa proyek penelitian yang sedang saya kerjakan hancur lebur karena kesalahan konyol.

Setelah data selesai dikumpulkan dari beliau, saya penasaran asal muasal pandangan beliau yang menyebut covid-19 “tidak ada” di sekitarnya. Padahal Jawa Timur merupakan salah satu wilayah ranjau virus yang besar. Bertanya lah saya dengan pertanyaan polos “kenapa di sini nggak ada corona?”. Sekali lagi beliau dengan penuh percaya diri menjawab “corona kan cuma katanya, sekarang mana coba buktinya, kasih lihat saya kalau ada buktinya” sial, kepercayaan dirinya membuat saya terkagum-kagum. Lambat laun kami berbincang-bincang beliau mulai menyebut berbagai institusi yang menurutnya bermain dibalik pandemi ini. Tentu saja muaranya ada pada WHO dan Bill Gates. Ya, persis dengan argumen ala penganut teori konspirasi macam Jerinx dan Anji. Argumen yang dilontarkannya pun begitu familiar terdengar di berbagai kanal media sosial tentang konspirasi dibalik pandemi covid-19 yang kerap dibagikan teman-temen virtual saya yang percaya konspirasi tersebut. Ternyata pasar konsumen teori konspirasi sudah sampai pelosok desa di bawah kaki gunung yang cukup jauh dari hingar bingar keramaian. Apa lagi kalau bukan internet — khususnya media sosial — yang menjadi media transfer informasinya.

Pada pertemuan lainnya, dia kembali bercerita perihal pandemi covid-19. Dia bercerita dengan gagahnya pernah menolak petugas yang datang ke kantor desa untuk melakukan penyemprotan disinfektan. Dengan dalih petugas tersebut hanya mencari duit dari proyek penyemprotan disinfektan. Ketika saya bertanya sebabnya kembali beliau menjawab dengan percaya diri “Ya saya lihat di internet mas, dipikir saya nggak tahu apa kalau mereka itu cuma nyari proyekan aja nyemprot nyemprot gitu”. Saya terdiam beberapa detik setelah mendengar jawaban beliau. Tak lama setelah itu kembali beliau berkata “Saya kebal corona mas” diiringi dengan tawa ringan untuk mencarikan suasana. Saya memilih untuk tidak ambil pusing atas argumen argumen yang beliau lontarkan, toh setiap orang bebas berekspresi kan? Kalau pun memang tidak sepakat dengan argumennya, serang saja dengan argumen tandinganmu. Namun alih-alih melakukan itu, pihak yang merasa dihina Jerinx lebih memilih memenjarakannya ketimbang membuat argumen tandingan untuk Jerinx. Tentu saja hal tersebut semakin membuat orang-orang seperti informan saya semakin percaya diri atas apa yang dia yakini.

--

--